0

Teologi Cinta

SEBAGAI lelaki normal, aku sangat mengaguminya. Selain berparas ayu, dia hampir memiliki segala kelebihan yang memang sangat patut dikagumi, terutama oleh para lelaki yang mendambakan kenikmatan cinta yang sejati.
Kalau bicara, tutur katanya halus, lembut, dan indah. Dia hampir tak pernah sekali pun merajuk sebagaimana umumnya gadis-gadis sebayanya. Dia juga tak pernah bermanja-manja kepada siapa saja. Dia pun tak pernah mengumbar emosinya sehingga uring-uringan, marah, memaki, mengumpat, menghina, mencela, dan sebagainya sama sekali tak pernah dia lakukan. Dan, dia juga selalu “on” untuk diajak berbicara tentang apa saja. Dia memang nyaris sempurna sebagai seorang manusia, sebagai seorang gadis, sebagai seorang anak, sebagai seorang sahabat, dan sebagainya. Masya Allah!!!


“Aku sangat mengagumimu dan mencintaimu. Lahir dan batin. Jasmani dan rohani. Hidup dan mati. Dalam suka maupun duka,” kataku berterus terang, dalam suatu kesempatan tatap muka dengannya. “Cinta yang keberapa yang kamu berikan kepadaku?” tanyanya, sambil menyunggingkan sebuah senyum yang amat manis.
“Tentu saja, cinta yang pertama sekaligus terakhir. Cinta yang utama dan segala-galanya. Setitik pun tidak ada cinta yang tertinggal, semua kupersembahkan hanya kepadamu,” jawabku, dengan intonasi serta mimik sangat serius.
“Ah, jangan begitu! Aku justru tidak mau kalau cinta pertama itu kamu berikan kepadaku, apalagi hanya kepadaku. Juga, aku tidak mau kalau kamu menyerahkan segala-galanya kepadaku. Sekali lagi, aku tidak mau cinta seperti itu,” jawabnya, mantap. “Maksudmu?”
“Kamu harus tetap realistis. Kamu harus tetap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jangan menempatkan sesuatu bukan pada tempat yang sebenarnya. Kamu tidak boleh fasik!” tuturnya, lembut namun menyentuh relung hatiku yang terdalam.

“Artinya?”
“Ya, aku hanya manusia biasa yang tak lepas dari cela. Aku bukan manusia sempurna, bahkan, mungkin, sangat jauh dari sempurna. Kalau pun manusia sempurna, aku masih juga belum berhak dan pantas menerima cinta pertama dari siapa pun. Juga penyerahan atas segalanya dari siapa saja, aku tak berhak menerima, dan karena itu aku wajib menolaknya,” jelasnya.

“Lalu…lalu…lalu…?”
“Ya sudah, titik. Tidak boleh lalu, lalu.” “Aku masih belum paham maksudmu”. “Belum paham atau tak mau paham?”
Aku diam. Namun, hatiku bergejolak. Aku penasaran. Ingin rasanya segera mendapatkan jawaban yang melegakan dari dia.

“Kamu orang beragama kan?” tanyanya, menyengat hatiku.
“Ya, tentu!”, jawabku dengan nada agak tinggi, namun masih dalam kendali kesabaran. “Kamu juga orang beriman kan?”
“Ya, pasti!”, jawabku dengan rasa dongkol di dalam hati, namun kedongkolan itu kubungkus rapat-rapat dengan daun-daun kesabaran dan ketabahan. “Kalau begitu, Kamu pasti yakin dan percaya kepada Alloh kan?” “Ya, otomatis,” jawabku dengan kedongkolan yang semakin sulit kututupi. “Apakah Kamu mencintai Alloh?”
“Sangat cinta!”, jawabku sambil berupaya keras untuk memegang teguh kesabaran dan kedewasaan berpikir. “Cinta yang keberapa yang Kamu berikan kepada Alloh?” Aku terdiam. Berpikir dalam-dalam, berintrospeksi. Aku sadar bahwa cinta yang seharusnya kupersembahkan kepada Alloh adalah cinta yang pertama dan utama. Aku juga sadar bahwa yang seharusnya menerima dan berhak atas segala penyerahanku hanyalah kepada Alloh. Dan, kini aku pun benar-benar paham mengapa dia menolak cinta pertamaku dan segala penyerahanku.

“Sudah paham?” tanyanya, mengejar. “Sudah,” jawabku, pendek, dan tanpa sedikit pun rasa dongkol. “Apakah Kamu masih tetap ingin menyerahkan cinta pertama Kamu kepadaku?” kejarnya.
“Tidak! Cinta pertama hanya pantas diberikan kepada Alloh,” jawabku.
Dia tersenyum tipis, yang kemudian perlahan-lahan senyum itu mengembang hingga menjadi sebuah tawa yang indah, bukan tawa yang terbahak-bahak. “Kalau begitu, cinta yang kupersembahkan kepadamu adalah cinta yang kedua, setelah cinta kepada Alloh,” lanjutku.
“Oh, jangan! Jangan! Jangan! Yang kedua pun aku belum berhak dan belum pantas menerimanya”. Aku kembali diam. Terpekur. Introspeksi lagi. Bertanya-tanya kepada hati sanubari, siapa gerangan yang paling berhak menerima cinta keduaku.

“Kamu percaya kepada utusan-utusan Alloh?” tanyanya, kemudian.
“Ya, saya percaya karena itu satu paket dengan percaya kepada Alloh,” jawabku.
“Kalau begitu, Sampean juga cinta kepada utusan Alloh yang paripurna?” lanjutnya. Lagi-lagi, aku terdiam, tersadar, dan terpekur. Aku tahu bahwa pertanyaan selanjutnya yang harus kujawab adalah “Cinta keberapa yang Kamu berikan kepada utusan Alloh yang paripurna itu?”
“Kok, nggak jawab, apa Kamu tidak cinta kepada utusan Alloh yang terakhir itu?” “Aku sangat mencintainya, dan karena itu, sekarang aku sadar bahwa cinta keduaku seharusnya untuk junjunganku itu,” jawabku.

“Kalau begitu, apakah Kamu akan memberikan cinta yang ketiga kepadaku?” kejarnya. Aku diam. Aku mencoba berpikir dalam-dalam. Aku yakin dia pasti akan menolak lagi jika itu kuutarakan. Pasti! “Aku benar-benar bodoh. Aku ingin tahu, cinta keberapa yang seharusnya kau inginkan dariku…??!” tanyaku.
“Yang keenam!” jawaban gadis itu, pendek.

“Lho, yang ketiga, keempat, dan kelima untuk siapa?” tanyaku, heran.
“Yang ketiga untuk jihad di jalan Alloh, yang keempat untuk Ibumu, dan yang kelima untuk Bapakmu,” jawabnya.

“Berarti, cinta yang kupersembahkan kepadamu harus merupakan sisa-sisa dari kelima cinta itu?” tanyaku.
“Cinta itu bukan benda padat, bukan benda cair, dan bukan pula benda gas. Cinta itu tidak akan pernah habis meski diberikan kepada siapa saja dalam kadar yang sangat besar sekalipun. Cinta juga bukan bilangan matematika. Cinta juga tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka-angka dan persentase”. Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan petuah cintanya. Aku semakin menyadari kebodohanku selama ini, terutama tentang cinta yang benar.

“Selama ini sangat banyak orang yang salah menempatkan cinta. Cinta kepada sesuatu diletakkan di atas cinta kepada ibu-bapaknya, di atas cinta kepada jihad di jalan Tuhan, di atas cinta kepada utusan Tuhan, dan bahkan di atas cinta kepada Tuhan sendiri. Karena itu, berjuta-juta pelanggaran cinta pun terjadi dan terus-menerus selalu terjadi di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi-kondisi bagaimanapun. Orang tidak segan-segan durhaka kepada ibu-bapaknya, keluar dari jalan Tuhan,
keluar dari ajaran rasul, dan bahkan berani menantang Tuhan hanya karena cintanya yang sangat tidak proporsional kepada harta, tahta, wanita, keluarga, saudara, kolega, penguasa, dan sebagainya,” tuturnya, jelas dan tandas.

Kini aku semakin paham dan jelas akan makna teologi cinta yang semestinya, senyatanya, dan sebenarnya. Aku pun sadar bahwa selama ini aku belum mengenal teologi cinta yang benar itu. Selama ini wawasan cintaku sangat sempit, dangkal, dan rendah. Seiring dengan kesadaran itu, sebuah pemikiran jernih yang bersemayam di dalam sanubariku yang suci seketika itu pun
kontan melayang-layang mengitari alam bebas nan luas.

“Kesalahan menempatkan cinta itulah, sebenarnya, yang merupakan sumber segala malapetaka, musibah, dan bencana yang menimpa manusia. Kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat atau penentu kebijakan pasti melahirkan kebijakan atau keputusan yang salah, yang pasti akan menimbulkan malapetaka, musibah, bencana, kehancuran, dan kebinasaan bagi siapa dan apa saja yang berada di dalam kawasan berlakunya kebijakan atau keputusan itu.”
“Kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang politik akan melahirkan kerusakan di bidang politik; kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang hukum akan melahirkan kerusakan di bidang hukum; serta kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang ekonomi akan melahirkan kerusakan di bidang ekonomi. Demikian pula kesalahan penempatan cinta oleh para pembuat dan pelaksana kebijakan di bidang-bidang lainnya Ðsosial, budaya, pertahanan-keamanan, lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan sebagainya, pasti akan melahirkan kerusakan, kehancuran, dan kebinasaan bagi siapa dan apa saja yang berada dalam kawasan berlakunya kebijakan itu.”


Begitu pemikiran jernihku berhenti melayang-layang di alam bebas nan luas, aku pun merasa telah sampai di suatu titik kesadaran yang setinggi-tingginya. Tiba-tiba, dari dalam sanubariku tercetus ikrar kesetian kepada Tuhan, pencipta sekaligus pemilik kebenaran dan kebaikan hakiki dan sejati.


“Mulai saat ini, hamba-Mu yang lemah dan sering zalim ini akan selalu berupaya sekuat tenaga untuk menempatkan cinta kepada-Mu di tempat yang pertama, utama, dan tertinggi. Dan, hamba juga akan berusaha sekuat tenaga untuk senantiasa menempatkan cinta kepada selain Engkau di tempat yang sebenarnya dan semestinya.”

sumber : renungan & kisah inspiratif

0 comments:

Post a Comment

Back to Top